Butuh Revolusi bagi SWK terbesar di Surabaya, apakah UKM Karah berani?

Walikota & wakil berkunjung ke kantor Dolen UKM Karah. 

KIM Karajuku Karah, Surabaya -  Walikota Eri Cahyadi berkomitmen untuk terus memajukan UMKM yang berada di kota Surabaya pada umumnya dan di wilayah Jambangan pada khususnya. Hal tersebut disampaikan bersama dengan Cak Ji panggilan akrab Armuji Wakilnya, di hadapan para pelaku usaha kecil mikro se-kecamatan Jambangan (Jum'at, 6/10/2020). Kalau ada pelaku UKM yang belum terdaftar pada data Dinas Perdagangan, segera mendaftar melalui Ketua RT/RW tempatnya tinggal. 

Selanjutnya diteruskan bertahap oleh jajaran kelurahan dan kecamatan kepada OPD terkait di pemerintahan kota Surabaya. Masih menurut mantan Kepala Bappeko ini, program kedepan akan diketahui jumlah pasti UMKM yang menjadi kekuatan ekonomi kampung. Dari data tadi bisa dilihat potensi pasar, sekaligus seleksi produk pelaku usaha supaya diketahui bahwa mereka tidak membuat barang/jasa yang tidak dibutuhkan pasar. Namun jika ada pelaku UMKM terlanjur membuat produk yang tak dibutuhkan pasar, maka pemerintah kota Surabaya akan meminta untuk mengoreksi produknya dan memberikan pelatihan supaya produk penggantinya bisa sesuai dengan kebutuhan pasar. Diharapkan dari intervensi pemkot akan berimbas pada kenaikan pendapatan pelaku usaha. Bahkan didorong agar mencapai upah minimum regional (UMR) kota Surabaya.

Berbicara tentang UMKM, akan membahas tentang satu tema umum yang luas jangkauannya. Agar bisa lebih fokus, mari kita bicarakan topik yang lebih sempit secara lebih mendalam. Bahasan kali ini berkenaan dengan segmentasi UMKM, khususnya pelaku usaha mikro sub-bidang kuliner (makanan/minuman). Dinas Koperasi dan Usaha Mikro sebagai kepanjangan tangan pemkot Surabaya memiliki program andalan bagi kelompok pelaku usaha kuliner (dulu disebut dengan PKL). Programnya bernama Sentra Wisata Kuliner (SWK). Kawasan yang didesain khusus sebagai tempat berjualan para PKL pasca penertiban yang terpusat, biasanya berada di wilayah kelurahan. SWK Karah sendiri merupakan yang terbesar dan terluas di kota Surabaya. 

Posisinya sangat strategis di jalanan ramai, yang dilalui lebih dari 5000 kendaraan roda 2 dan roda 4 per harinya. Di sisi utara tepat di seberang jalan eksis panggonan nongkrong kekinian arek enom Suroboyo, bernama ROLAG KOPI. Satu franchise coffeeshop  yang sedang nge-hitz di kota pahlawan. Meskipun kedua destinasi ini berada di kawasan strategis dan ramai, ada perbedaan kontras dalam jumlah pengunjungnya. SWK saat kami survei per harinya maksimal hanya berjumlah puluhan pengunjung, Sementara kafe seberangnya bisa tembus ratusan pengunjung per harinya. Saat sebelum pandemi covid-19, kunjungan kedua tempat ini jauh lebih banyak angkanya. Salah satu alasannya adalah belum adanya pembatasan pergerakan dan berkumpulnya warga kota.

Wajah SWK Karah, difoto dari depan Rolag Kopi. 
Narasumber kami kali ini adalah salah satu pedagang senior di SWK Karah yang tidak ingin disebutkan namanya. Dia bercerita sebelum SWK resmi dikelola (per 31 Desember 2011) oleh pemkot Surabaya era Walikota Tri Risma Harini. Lahan ini merupakan area publik yang peruntukannya digunakan sebagai lapangan olahraga bagi warga yang tinggal di kelurahan Karah. Saat pagi dan siang hari, warga melakukan aktivitas olahraga bola voli dan sepak bola. Saat sore menjelang para pedagang kemudian berbondong-bondong mendorong gerobaknya untuk lapak berjualan hari itu. Kala itu pedagang diminta membayar iuran kebersihan kepada pengurus LKMD (saat ini organisasi ini berubah namanya menjadi LKMK). 

Masih kata pedagang yang masa itu juga sudah berdagang di lahan SWK Karah. Tempat ini terletak di hulu jalan Karah Kebon Agung sisi utara. Omzet dan keuntungan penjualan yang didapatkan mereka lebih besar dari pendapatannya sekarang, kala lapaknya sudah berubah menjadi SWK. Dia menjawab tidak tahu pasti! Kala kami tanya, menurutnya apakah penyebab penurunan pendapatannya pada saat ini? Menurut pengamatan kami, ada perubahan mendasar dari pola pikir konsumen, yang saat ini berkunjung ke SWK. Kalau pada jaman sebelum diresmikannya SWK, orang yang datang hanya untuk membeli makan. Nah gaya hidup pembeli sekarang berbeda, ke tempat makan bukan hanya untuk mengisi perutnya hingga kenyang. Disamping makan dari menu yang tersedia di SWK, mereka juga butuh tempat untuk bekerja, bersosialisasi dalam kelompoknya serta ber-selfie ria dalam rangka membuat konten media sosialnya.

Dalam kesempatan berbeda Mas Eri Walikota Surabaya yang bertempat tinggal di kawasan Karah. Berkomitmen mendorong peningkatan pendapatan warga, khususnya kelompok dari sektor UMKM. Salah satu programnya adalah menggelorakan pemberdayaan pedagang SWK di Surabaya, termasuk SWK Karah. Sayangnya sejauh ini program ini belum sepenuhnya berjalan. Seakan bisa memahami kegelisahan para pedagang SWK. Pada hari Rabu (13/10/2021) bertempat di Semolowaru, disuarakanlah program baru yang akan menyasar pelaku usaha kuliner binaan Dinas Koperasi Usaha Kecil, Mikro dan Perdagangan. Tujuannya untuk merevitalisasi SWK, sentra wisata kuliner harus dirombak dan ditata ulang.

Pengelolaannya harus lebih profesional dan promosi lebih digalakkan. Saat populer di media sosial, pasti pengunjung akan berbondong-bondong ke SWK. Apalagi kalau banyak sudut di SWK yang instagramable. Agar pembeli yang sudah berkunjung bisa kembali lagi, cita rasa masakan pedagang harus sedap pakai banget. Minimal tidak kalah dengan rasa restoran bintang lima meskipun hanya berjualan di lapak kaki lima. Disini sudah waktunya pemkot mengandeng pihak ketiga melalui program CSR yang memberikan bantuan pelatihan kepada pedagang untuk meningkatkan citarasa masakan mereka. Agoes Tinus , SS,. M. Tourism., Ph.D., Dekan Fakultas Pariwisata Universitas Ciputra mewakili kampusnya, secara khusus diminta Walikota Surabaya membantu program revitalisasi SWK. Menurut data kami Agoes dan kelompok mahasiswanya pada tahun 2017 pernah mendesainkan program marketing online SWK Karah. Sayang tidak semua pedagang SWK setuju sehingga terobosan dari UC tidak jadi dilaksanakan.   

Program bagus ini akan bisa terlaksana dengan baik manakala stakeholder terkait bisa saling bahu-membahu dan berjibaku langsung dengan pedagang di lapangan. Pemerintah harus mau mendengar dan berdiskusi mendalam soal kebutuhan warga, bukan memaksakan programnya saja kepada rakyat. Pedagang harus siap merubah pola pikir dan cara bisnisnya, asal ada niat dan kemauan tidak ada yang mustahil untuk direalisasikan. Akademisi dan praktisi bisnis kuliner terkemuka di kota terbesar kedua setelah Jakarta ini, diminta turun gunung langsung mendampingi pedagang. Kurang efektif kalau mereka hanya mendiskusikan teorinya di institusi mereka, tanpa melihat langsung realita di masyarakat. Sementara itu minimnya dana pendampingan dari APBD kota bisa disiasati dengan melibatkan secara aktif kucuran dana program dari LPPM kampus. Serta dana CSR berbagai perusahaan/BUMN/BUMD yang sejauh ini sudah membantu pemkot. 

Sebelum diskusi kami di SWK berakhir. Ada satu pemikiran menarik untuk disimak dari tokoh masyarakat Jambangan, HM Sunar, ST., MH.  Sebenarnya solusi SWK agar maju dan bertahan lama itu mudah. Kalau dalam durasi waktu ditentukan OPD yang menangani SWK gagal mencapai target kinerjanya. Maka serahkan pengelolaan SWK kepada pihak swasta. Bisa diadakan kesepakatan agar mereka (pihak swasta) mendapatkan hak kelola (dalam kurun waktu tertentu), untuk SWK yang ditentukan. Khususnya SWK yang sebelumnya ditangani Dinas, kurang berkembang. Secara naluri pengusaha tidak akan mau rugi, sehingga mereka akan melakukan berbagai cara yang inovatif, agar SWK yang dikelolanya tidak merugi, bisa jadi lumbung uang mereka dan dapat bertahan lama. Saya yakin cara ini akan berhasil, pungkas Sunar. (Cak BONI)

Komentar

  1. Pkl karah harga makanannya sd merakyat,,,jika dikelola swasta pastinya akan lebih inovatif untuk spot foto dan live musik akustik,keronjong,dangdut,dg pembagian jadwal,jika sd dikelola swasta alangka bagusnya harga makanan jg dipertahankan dg harga yg merakyat mengingat masi kondisi pandemi,tarif parkir jg sewajarnya 2-3k saja

    BalasHapus
  2. Semua kembali kepada pengelola.
    Manajemen SWK...
    Seperti halnya SWK Bronggalan yang awalnya untuk menampung penjual dipinggir jalan Kapaskrampung, ternyata juga gagal. Karena menyangkut pelanggan.
    Memang mudah untuk membangun tapi tanpa survey dan khususnya tempat, SWK tdk akan berfungsi.

    Salam
    Media Rangkah

    BalasHapus

Posting Komentar